CEOMAGZ | Jakarta – Ada hal menarik saat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) melakukan rapat kerja dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/3/2024). Anggota DPR komisi II sempat berdebat soal pangkat Mayor AHY jadi menteri gantikan Hadi Tjahjanto yang pangkat Marsekal.
Rapat kerja DPR yang semestinya membahas soal-soal masalah pertanahanan, yang lagi mencuat menyangkut persoalan mafia tanah yang seperti tak berujung, berubah bagai pelaksanaan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon pejabat negara yang biasa mereka lakukan.
Ada momen perdebatan dalam rapat kerja itu terkait pangkat terakhir AHY saat di TNI yakni Mayor. Demikin dikutip dari TV Parlemen yang disiarkan youtube Wartakotalive.
Perdebatan itu terjadi saat anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Demokrat Zulkifli Anwar yang merasa terusik lantaran ada anggota DPR lain yang mengungkit pangkat mayor AHY pada rapat tersebut.
Pangkat Mayor AHY itu sendiri disinggung oleh anggota Komisi II DPR RI Fraksi PAN Guspardi Gaus. Awalnya, Guspardi bercerita dirinya pernah diwawancarai perihal kepantasan dan kemampuan AHY memimpin Kementerian ATR/BPN.
Kala itu, Guspardi menjawab, dia meyakini AHY akan mampu melanjutkan kepemimpinan Kemeterian ATR/BPN, yang ditinggalkan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto yang kini digeser menjadi Menko Polhukam.
“Tanggal 20 Februari saya diwawancarai oleh media, yang intinya mempertanyakan eksistensi dari pak AHY, Apakah beliau akan mampu menggantikan seorang Marsekal yang dalam tanda kutip pak AHY adalah mayor? Saya katakan saya bangga kepercayaan yang diberikan pak Jokowi soal penempatan dan penarikan itu semuanya adalah hak prerogatif presiden,” ,” kata Guspardi di Ruang Rapat Komisi II DPR, Senayan, Jakarta.
Guspardi menyebut persoalan jabatan menteri ini adalah manajemen, tak ada hubungan dengan pangkat kemiiteran. Dia kembali menegaskan bahwa yakin AHY akan mampu memimpin ATR/BPN dengan baik.
“Kalau soal militer beliau mayor ditempatkan menjadi pangab itu memang jelas tidak pada tempatnya. Tapi pak AHY ditempatkan oleh pak Jokowi sebagai menteri, menurut saya adalah seusatu yang pas,” ucapnya.
Merespons pernyataan Guspardi itu, Zulkifli Anwar merasa terusik. Menurutnya tidak pantas jika membeda-bedakan pangkat di dalam kepemimpinan, dengan menyamakan menteri lama dan menteri yang sekarang. “Saya hanya terusik penyampaian sahabat saya di kanan tadi pak Guspardi Gaus yang mengganggu perasaan saya,” ujarnya.
“Tetapi pak Guspardi mendukung dia mampu melaksanakan itu, saya mendukung tentang dukungan,” lanjutnya.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia sebagai pimpinan rapat mencoba meredakan situasi tersebut. Doli meminta Zulkifli untuk fokus pada rapat tema hari ini. “Pak Zul mohon maaf kita fokus ke tema hari ini,” ucap Doli.
Zulkifli lantas mengatakan dirinya perlu mengklarifikasi apa yang disampaikan oleh Guspardi. Sebab hal itu bisa berdampak negatif bagi AHY. “Ini ada akan berimbas jelek pimpinan. Ada, saya persoalkan karena menteri itu pimpinan saya. Jangan sampai dicap dibeda-bedakan artinya ini bicara kemampuan, nyatanya mampu,” ucapnya.
“Jadi jangan disama-samakan soal pangkat, dan jika ada yang bertanya kepada saya apakah pak AHY mampu sebagai menteri, jangankan jadi menteri, jadi wapres pun mampu. Mohon maaf saya tidak cari muka karena pimpinan saya tapi saya terusik bicara kemampuan,” tandasnya.
Penanganan Mafia Tanah
Dalam kesempatan yang sama, usai debat panas soal pangkat dan jabatan, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang langsung membuka percakapan dengan mencecar AHY terkait penanganan mafia tanah. Bagaimana mau mengebuk mafianya justru di lingkungan BPN ada 78 pejabat yang bermasalah terkait hukum.
“Kalau saudara Menteri mungkin sudah tahu, kami ini getol ke daerah Pak. 21 provinsi, catatan saya Pak, 78 pejabat BPN sedang bermasalah hukum Pak,” ujar Junimart.
Junimart mengatakan, situasi itu mesti dibenahi lebih dulu, sebelum AHY getol menyatakan semangatnya untuk memberantas mafia tanah. Pasalnya, banyak pejabat ATR/BPN di daerah ketakutan mengeluarkan sertifikat tanah meskipun sudah memenuhi prosedur dan persyaratan.
Alasannya, banyak yang tetap tersangkut kasus oleh aparat penegak hukum ketika sengketa lahan terjadi. “Kita enggak mungkin bisa bicara pemberantasan mafia tanah, enggak bisa. Ini semua akan ketakutan. Semua kakanwil, semua kakanda akan ketakutan sampai bawah untuk berbuat kebenaran Pak,” ujarnya.
“Kepala kantor pertanahan dia berbuat benar, dia membuat sertifikat dengan dasar surat bupati, surat keterangan camat, saksi kepala desa, ketika sudah dibuat sertifikat (jadi) tersangka Pak,” sambungnya.
Dalam kasus tersebut, Junimart menganggap Kementerian ATR/BPN kerap lepas tangan. Apalagi, lanjut dia, hanya 60 sengketa tanah yang melibatkan ATR/BPN yang bisa dibantu penyelesaiannya melalui anggaran kementerian.
Junimart menilai situasi itu tidak ideal karena begitu banyak persoalan tanah di berbagai wilayah Tanah Air yang dibawa sampai ke tahap pengadilan. “Padahal setiap tahun itu sengketa itu lebih dari 1.000 Pak. Jadi kalau kita bicara semangat pemberantasan, selesaikan dulu di dalam, bikin dulu nyaman di dalam ini,” tuturnya.
“Supaya sertifikasi itu bisa betul-betul mereka lakukan, tanda tangan secara nyaman dan suka cita Pak. Itu Pak Menteri. Tidak gampang Pak di pertanahan,” tambah Junimart.
Menanggapi hal tersebut, AHY mengungkapkan ada empat program prioritasnya saat menjabat Menteri ATR/BPN. Prioritas yang pertama, katanya adalah membantu pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan menyelesaikan status 2.086 hektar tanah di sekitar kawasan inti.
“Dua, mendukung terjaganya iklim investasi yang sehat sekaligus hadirnya rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya dalam penyelesaian kasus Rempang di Kepulauan Riau,” ujar AHY.
Konflik antara masyarakat di Pulau Rempang dan pihak kepolisian sempat terjadi beberapa waktu lalu. Hal itu dipicu oleh rencana pemerintah merelokasi 7.500 warga untuk pembangunan kawasan industri, jasa, dan pariwisata Rempang Eco City.
Kemudian, rencana prioritas AHY yang ketiga adalah mengurus berbagai persoalan terkait aset negara, salah satunya adalah Hotel Sultan. “Menyelamatkan aset-aset negara, di antaranya dalam penyelesaian kasus hukum Hotel Sultan Jakarta,” ucap dia.
Persoalan Hotel Sultan terjadi antara Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) dengan PT Indobuildco selaku pengelola hotel. PPKGBK ingin mengambil alih manajemen Hotel Sultan karena menilai masa izin sewa PT Indobuildco sudah berakhir. Namun, pihak perusahaan tidak menerima keputusan itu dan akhirnya konflik masih berjalan sampai saat ini.
Terakhir, AHY menekankan, bakal berupaya optimal untuk memberantas mafia tanah. “Saya lalu menyusun pemberantasan mafia tanah ini. Ada dua strategi, pertama, pencegahan. Kegiatan pencegahan dilakukan dengan proses sertifikasi secara masif. Dengan adanya sertifikat, rakyat punya kepastian hukum. Pencegahan juga dilakukan secara internal, melalui kerja sama intensif dengan aparat penegak hukum baik kepolisian, maupun kejaksaan,” pungkas putra sulung Presiden RI ke-6 itu. (*/02)